Beranda
Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab
tulus_saktiawan
Januari 25, 2024

Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khattab

    Agenda pertama setelah Umar memegang amanah jabatan sebagai Khalifah adalah ekspansi wilayah Islam sebagai kelanjutan dari kebijakan Khalifah Abu Bakar. Dengan demikian, pada masa kepemimpinannya, daerah taklukan Islam meluas hingga Jazirah Arabia, Palestina, Syria, Mesir, dan sebagian besar wilayah Persia. Meluasnya ekspansi yang tengah dilakukan, mau tidak mau menuntut Umar untuk mengatur administrasi negara yang terencana.

    Di samping itu, ekspansi wilayah menyebabkan pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat berarti. Dalam rangka mengelola pendapatan tersebut, setelah bermusyawarah dengan sahabat lain, maka Umar mengeluarkan kebijakan agar pendapatan yang menjadi kas negara tersebut dikelola dengan terencana dan terarah. Lembaga BaitulMal yang telah dicetuskan pada masa Rasulullah, menjadi institusi yang memiliki peran penting pada masanya dalam rangka mengelola tata kelola keuangan negara.


    Sebagai khalifah, Umar bin Khattab sangat memperhatikan kemaslahatan bersama secara profesional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai rumusan kebijakan yang penuh dengan pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Sehingga zamannya dikenal dengan zaman yang sarat dengan perubahan, dan tak jarang kebijakannya berbeda dengan kebijakan Rasulullah.

    Kebijakan yang paling fenomenal adalah kebijakan fiskal di sektor perpajakan tentang pertanahan dan pertahanan, atau sering kali juga dikenal dengan kebijakan Umar di sawad (tanah subur). Umar memutuskan untuk tidak mengambil alih tanah taklukan, namun justru diberikan pengelolaan sepenuhnya kepada pemiliknya, namun diwajibkan membayar pajak (kharaj) sebesar 50 persen dari hasil panen.

    Ada beberapa alasan kebijakan ini lebih disukai oleh Umar, antara lain : andaikata tanah taklukan itu diambil alih oleh negara, maka secara otomatis para pasukan (tentara) Islam yang akan mengelolanya, padahal menurut Umar, para tentara bukanlah ahli bercocok tanam, selain kualitas pertanian akan menurun, juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas. Selain itu, pendapatan negara melalui pajak akan jauh menurun, mengingat pajak (kharaj) bagi non-musim sebesar 50% dan pajak (ushr) bagi bagi muslim hanya 10 % saja. Di samping itu, hal yang sangat dipertimbangkan oleh Umar adalah kekhawatiran akan adanya gelombang pemberontakan, sebagai dampak pengangguran dan kemiskinan. Sehingga pada gilirannya akan memberikan angin negatif tersendiri bagi keamanan dan keutuhan negara.

    Pada kebijakan pertahanan, dalam rangka menanggung nasib para tentara, maka pada zaman Umarlah awal mula ditetapkan gaji tetap bagi para tentara, selain sebagai tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup, juga agar terjaga motivasi para tentara dalam membela negara. Selain itu, ketika Umar melihat kebijakan bea cukai yang merugikan pihak satu pihak, terutama negara Islam, maka Umar pun menerapkan wajib pajak bagi siapa saja dari warga asing non-muslim yang hendak memasuki wilayah teritorial Islam untuk berdagang sebesar 10% dari barang yang dijual, sementara bagi dzimmi yang berada dalam kekuasaan Islam dikenakan sebesar 5%, dan muslim 2,5% dari harga barang dagangan.

    Hal lain dari kebijakan ekonomi Umar yang menarik untuk dikaji adalah tentang perpajakan Kuda. Pada masa pemerintahan Umar, bisnis perdagangan kuda semakin merebak, bahkan pernah diriwayatkan pernah ada seekor kuda Arab Taghlabi yang diperkirakan bernilai 20.000 dirham. Sehingga melihat keadaan demikian, maka Umar menarik zakat dari bisnis perdagangan kuda tersebut dan membagikannya kepada orang-orang miskin dan para budak.

    Berkaitan dengan segelintir kebijakan ekonomi Umar sebagaimana dijelaskan di atas, ada satu hal yang mesti digarisbawahi, yaitu mengenai pendistribusian kas Baitul Mal sebagai tunjangan sosial kepada kerabat Rasulullah dan orang-orang yang berjasa dalam membela Islam. Karena dibalik niat yang mulia itu ternyata menuai kritikan dari salah seorang sahabat, Hakim bin Hizam. Menurutnya, hal demikian akan mendongkrak mereka dengan sifat malas, dan akan menjadi fatal ketika pemerintah sudah tidak lagi menerapkan kebijakan tersebut. Khalifah menyadari bahwa kebijakan tersebut mengandung kekeliruan dan berimbas negatif terhadap strata sosial masyarakat dan berniat untuk memperbaikinya. Namun Umar wafat sebelum terealisasikan rencananya.

    Dari berbagai kebijakan ekonomi Umar bin Khattab tersebut, nampak Khalifah Umar tidak terlalu memprioritaskan kaum miskin di atas kaum kaya ataupun sebaliknya, tetapi Umar lebih mengedepankan kemaslahatan bersama. Setiap kebijakan selalu berupaya untuk menjawab keadaan realitas dengan tidak memberatkan dalam implemenatasinya. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan fleksibelitas menjadi karakteristik perekonomian di Masa Umar bin Khattab. Kebijakan ekonomi yang kaku sangat dihindari oleh Umar, karena akan berdampak negatif terhadap bangunan kemaslahatan yang ingin dicapai. Kemaslahatan menjadi dasar ataupun landasan bagi Umar dalam menjalankan roda perekonomian, sebagai sebuah pengejewantahan dari perintah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

    Demikianlah Umar bin Khattab yang terkadang melakukan ta’lil (mencari alasan rasional dari suatu hukum). Karena dalam urusan muamalah yang menjadi pertimbangan utama adalah asas manfaat bagi masyarakat. Inilah konsep rahmatan lil ‘alamin membawa rahmat bagi semesta alam.

Penulis blog

Tidak ada komentar