Beranda
Kebijakan Ekonomi Umar bin Abdul Aziz
tulus_saktiawan
Januari 25, 2024

Kebijakan Ekonomi Umar bin Abdul Aziz

    Di persimpangan catatan sejarah Dinasti Ummayah yang menampilkan ketidakberesan dalam segala aspek politik, sosial, dan ekonomi, sebagai dampak dari pola hidup kaum feodal istana yang serakah, terpilihlah Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah. Terpilihnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah ibarat sang pencerah yang mencerahkan ketika para khalifah Dinasti Ummayah gemerlap dengan kekuasaan. Keadaan ini dapat dilukiskan dengan ucapannya, “innalillahi wa inna ilaihi roji’un”, yang seolah menggambarkan betapa beratnya keadaan yang harus diubah sebagai tanggung jawab seorang khalifah. Namun, sebagai bukti awal dan tekad yang bulat untuk mengembalikan kesejahteraan rakyat yang dirampas oleh kaum feodal, maka seluruh hartanya, ia kembalikan ke kas negara.

    Untuk mengawali pembangunan kembali pondasi negara, maka penjabat-penjabat pemerintah yang menjadi biang keladi pengembosan lumbung kekuatan negara diamankan setimpal dengan tindak pidana yang telah diputuskan. Pada masanya keadilan benar-benar ditegakkan, para penjabat yang korup dan mengabaikan hak-hak rakyat, dipecat tanpa kompromi. Gerakan “Sapu bersih” di lingkungan pemerintahan ini menjadi basis awal pembangunan fundamental ekonomi negara yang sustainable. Faktor inilah, menurut Umar penyebab instabilitas perekonomian negara yang harus dihilangkan. Andaikata kebijakan tersebut tidak langsung diterapkan segera, mungkin Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah yang terakhir Dinasti Ummayah, mengingat kesejahteraan sudah tidak lagi dirasakan oleh rakyat dan suburnya gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah. Oleh kerana itu, pada masanya, urusan dalam negeri sangatlah diprioritaskan, terutama menjamin keamanan rakyat dan mengkomodir semua aspirasi golongan.

    Menyadari akan ketidakadilan kaum feodal istana terhadap kehidupan rakyat kecil, terutama dengan kepincangan masalah perpajakan, yang mana pada waktu itu banyak para pejabat yang tidak membayar pajak, akan tetapi rakyat kecil lah yang dikenai pajak yang melampui batas. Maka Umar mereformasi sistem perpajakan agar menjadi adil dalam pemasukan anggaran negara.

    Dalam rangka pemulihan dari terpaan badai krisis ekonomi yang melanda negeri kala itu, sebagai imbas dari sistem yang tidak berkeadilan dari para penjabat pendahulunya, maka langkah yang diambil Umar adalah berupa bentuk penghematan anggaran dalam pemberian fasilitas pejabat negara dan juga penghematan dalam perayaan peringatan hari besar keagamaan dan kenegaraan. Umar menyadari bahwa kebijakan pengelolaan anggaran merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang terpenting selain pajak.

    Penyusunan anggaran yang efesien sangat penting karena keterkaitannya dengan berbagai sektor perekonomian. Kontribusinya yang besar tidak hanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam pengurangan penduduk miskin dan menciptakan stabilitas ekonomi serta meningkatkan pendapatan per kapita. Dengan kata lain, tujuan dari adanya penghematan di dalam pengelolaan anggaran adalah menopang tujuan pokok dari setiap pemerintahan Islam berupa kesejehateraan bagi seluruh warga negera.

    Kesejahteraan umat menjadi kata kunci dalam penentuan kebijakan ekonomi Umar, sehingga dalam mengatasi berbagai persoalan dalam bidang ekonomi, kesejahteraan menjadi tujuan. Dengan demikian, kebijakan ekonomi Umar terlihat tidak terlalu kaku dan tekstual, tapi justru berupaya untuk mengejewantahkan nilai-nilai islami dalam menghadapi realitas dan kenyataan.

    Fleksibelitas kebijakan ekonomi Umar bin Abdul Aziz sangat terlihat ketika mencabut kewajiban kharaj dan jizyah bagi orang-orang non-muslim, menurutnya bahwa nabi diutus ke dunia bukan untuk mencari harta dan mencari pajak, namun justru mengislamkannya. Tetapi kemudian setelah melihat realita, bahwa terjadi tekanan ekonomi yang sangat serius, maka Umar mengeluarkan dekrit untuk kembali ke kebijakan lama, yaitu kebijakan yang dikeluarkan oleh Umar ibn Khattab, “Kebijakan ekonomi di Sawad’, dengan memberlakukan kembali penerapan jizyah dan kharaj bagi dzimmi petani dan tuan tanah untuk keselamatan jiwa dan tanah mereka.

    Akan tetapi setelah kemudian hari banyak dzimmi yang masuk Islam hanya karena menghindari kharaj. Akibatnya, negara mengalami instabilitas ekonomi yang kuat. Dalam rangka menanggulangi masalah tersebut, setelah bermusyawarah dengan para ekonom dan ulama, maka Umar mengeluarkan dekrit, bahwa orang muslim selama ini yang menikamati tanah kharaj membayar pajak sebagai tanah ushur, mulai pada 100 H, dilarang jual beli tanah. Dengan demikian, keputusan ini membawa arti bahwa apabila seorang muslim betul-betul masuk Islam, ia harus tinggalkan sawahnya dan digarap petani tetangga yang non-Islam, dia diberi gaji pensiun tiap bulan oleh negara atau ia boleh menggarap sawah sendiri, tapi ia harus bayar kharaj. Dengan melakukan restrukturisasi organisasi negara, dan penghematan anggaran belanja negara. Maka, dengan cara begitu Umar dapat memaksimalkan sumber-sumber pendapatan negara melalui zakat, pajak dan jizyah.

    Pengalokasian subsidi ke masyarakat yang berdaya beli rendah sebagai tujuan distribusi zakat, terus ditingkatkan pada masanya. Umar menyadari bahwa zakat merupakan sebuah instrumen pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan (growth dan equity). Dari sinilah terlihat konsep demokrasi ekonomi Umar yang tidak harus diartikan sebagai berlakunya prinsip equal treatment (perlakuan sama), tetapi ada orang yang tidak berpunya perlu memperoleh pemihakan dan bantuan yang berbeda (partial treatment). Sehingga bantuan kepada masyarakat miskin dan jaminan hidup layak yang berkecukupan kepada mereka, sangat diprioritaskan.



Penulis blog

Tidak ada komentar