Beranda
Forum Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Perdagangan Internasional
tulus_saktiawan
Januari 25, 2024

Forum Penyelesaian Sengketa Dalam Hukum Perdagangan Internasional

Zuper_Tau.- Forum penyelesaian sengketa dalam hukum perdagangan internasional pada prinsipnya juga sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa (internasional) pada umumnya. Forum tersebut adalah negosiasi, penyelidikan fakta-fakta (inquiry), mediasi, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian melalui hukum atau melalui pengadilan, atau cara-cara penyelesaian sengketa lainnya yang dipilih dan disepakati para pihak.

berikut beberapa forum yang untuk menyelesaikan senketa dalam hukum dagang internasional:

1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.

Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya. Setiap penyelesaiannya pun didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak. Senada dengan itu Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."

Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.

Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-prmasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penatapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini.

Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.

Mengenai pelaksanaan negosiasi, prosedur-prosedur yang terdapat di dalamnya perlu dibedakan sebagai berikut: pertama, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa belum lahir (disebut pula sebagai konsultasi); dan kedua, negosiasi digunakan manakala suatu sengketa telah lahir, maka prosedur negosiasi ini merupakan proses penyelesaian sengketa oleh para pihak (dalam arti negosiasi).


2. Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga. Ia bisa individu (pengusaha) atau lembaga atau organisasi profesi atau dagang. Mediator ikut serta secara aktif dalam proses negosiasi. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa.

Usulah-usulan penyelesaian melalui mediasi dibuat agak tidak resmi (informal). Usulan ini dibuat berdasarkan informasi- informasi yang diberikan oleh para pihak. Bukan atas penyelidikannya.

Jika usulan tersebut tidak diterima, mediator masih dapat tetap melanjutkan fungsi mediasinya dengan membuat usulan-usulan baru. Karena itu, salah satu fungsi utama mediator adalah mencari berbagai solusi (penyelesaian), mengidentifikasi hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulah-usulan yang dapat mengakhiri sengketa.

Seperti halnya dalam negosiasi, tidak ada prosedur-prosedur khusus yang harus ditempuh dalam proses mediasi. Para pihak bebas menentukan prosedurnya. Yang penting adalah kesepakatan para pihak mulai dari proses (pemilihan) cara mediasi, menerima atau tidaknya usulah-usulan yang diberikan oleh mediator, sampai kepada pengakhiran tugas mediator.

Gerald Cooke menggambarkan kelebihan mediasi ini sebagai berikut:

“Where mediation is successfully used, it generally provides a quick, cheap and effective result. It is clearly appropriate, therefore, to consider providing for mediation or other alternative dispute resolution techniques in the contractual dispute resolution clause.” (Huruf tebal oleh penulis).

 Cooke juga dengan benar mengingatkan bahwa penyelesaian melalui mediasi ini tidaklah mengikat. Artinya, para pihak meski telah sepakat untuk menyelesaikan senketanya melalui mendiasi, namun mereka tidak wajib atau harus menyelesaikan sengketanya melalui mediasi.

Manakala para pihak gagal menyelesaikan sengketanya melalui mediasi, mereka masih dapat menyerahkan ke forum yang mengikat yaitu penyelesaian melalui hukum, yaitu pengadilan atau arbitrase.

3. Konsiliasi

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi. Kedua cara ini adalah melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Konsiliasi dan mediasi sulit untuk dibedakan. Istilahnya acapkali digunakan dengan bergantian. Namun menurut Behrens, ada perbedaan antara kedua istilah ini: konsiliasi lebih formal daripada mediasi.

Konsiliasi bisa juga diselesaikan oleh seroang individu atau suatu badan yang disebut dengan badan atau komisi konsiliasi. Komisi konsiliasi bisa yang sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk menetapkan persyaratan- persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidaklah mengikat para pihak.

Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua tahap: tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (yang diuraikan secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi. Kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh kuasanya.

Berdasarkan fakta-fakta yang diperolehnya, konsiliator atau badan konsiliasi akan menyerahkan laporannya kepada para pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan-usulan penyelesaian sengketanya. Sekali lagi, usulan ini sifatnya tidaklah mengikat. Karenanya diterima tidaknya usulan tersebut bergantung sepenuhnya kepada para pihak.

Contoh komisi konsiliasi yang terlembaga adalah badan yang dibentuk oleh Bank Dunia untuk menyelesaikan sengketa-sengketa penanaman modal asing, yaitu the ICSID Rules of Procedure for Conciliaiton Proceedings (Conciliaiton Rules). Namun dalam prakteknya, penggunaan cara ini kurang populer.

Sejak berdiri (1966), badan konsiliasi ICSID hanya menerima dua kasus. Kasus pertama diterima pada 5 Oktober 1982. (Jadi selama 16 tahun kosong). Namun sebelum badan konsiliasi terbentuk, para pihak sepakat mengakhiri persengketaannya.

Kasus kedua yaitu Tesoro Petroleum Corp. v. Government of Trinidad and Tobago diterima tahun 1983. Kasus ini berhasil diselesaikan pada tahun 1985 setelah para pihak sepakat untuk menerima usulan-usulan yang diberikan oleh konsiliator.

4. Arbitrase

a. Mengapa Arbitrase Dipilih?

Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer. Dewasa ini arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang nasional maupun internasional.

Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:

(1)  kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan. Dalam arbitrase tidak dikenal upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali seperti yang kita kenal dalam sistem peradilan kita. Putusan arbitrase sifatnya final dan mengikat. Kecepatan penyelesaian ini sangat dibutuhkan oleh dunia usaha.

(2)  Keuntungan lainnya dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya. Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi. Pemilihan arbiter sepenuhnya berada pada kesepakatan para pihak. Biasanya arbiter yang dipilih adalah mereka yang tidak saja ahli tetapi juga ia tidak selalu harus ahli hukum. Bisa saja ia menguasai bidang-bidang lainnya. Ia bisa insinyur, pimpinan perusahaan (manajer), ahli asuransi, ahli perbankan, dll.

(3)  Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).

(4)  Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relatif lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan. Hal ini dapat terwujud antara lain karena dalam lingkup arbitrase internasional ada perjanjian khusus mengenai hal ini, yaitu Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

b. Perjanjian Arbitrase

Dalam praktik, biasanya penyerahan sengketa ke suatu badan peradilan tertentu, termasuk arbitrase, termuat dalam klausul penyelesaian sengketa dalam suatu kontrak. Biasanya judul klausul tersebut ditulis secara langsung dengan ‘Arbitrase’. Kadang-kadang istilah lain yang digunakan adalah ‘choice of forum’ atau ‘choice of jurisdiction’.

dua istilah tersebut mengandung pengertian yang agak berbeda. Istilah choice of forum berarti pilihan cara untuk menadili sengketa, dalam hal ini pengadilan atau badan arbitrase. Istilah choice of jurisdiction berarti pilihan tempat dimana pengadilan memiliki kewenangan untuk menangani sengketa. Tempat yang dimaksud misalnya Inggris, Belanda, Indonesia, dll.

Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).

Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Syarat ini sangat esensial. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.

Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa klausul arbitrase melahirkan jurisdiksi arbitrase. Artinya, klausul tersebut memberi kewenangan kepada arbitrator untuk menyelesaikan sengketa. Apabila pengadilan menerima suatu sengketa yang di dalam kontraknya terdapat klausul arbitrase, maka pengadilan harus menolak untuk menangani sengketa.

c. Lembaga-lembaga Arbitrase

Peran arbitrase difasilitasi oleh adanya lembaga-lembaga arbitrase internasional terkemuka. Badan-badan tersebut misalnya adalah the London Court of International Arbitration (LCIA), the Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) dan the Arbitration Institute of the Stockholm Chamber of Commerce (SCC).

Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya sutau aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL).

 

 

 


Penulis blog

Tidak ada komentar